Friday, January 18, 2008

Cooking… What a Journey! (Part 2)

(Sambungan dari sini)

Hingga akhirnya tibalah saat aku harus pergi sekolah ke Jepang, tahun 1999. Salah satu masalah utama yang terpikir adalah: makanan di sana. Buku2 tentang Jepang yang kubaca cuma menunjukkan jenis2 makanan mentah yang sudah pasti tidak kusuka. Belum lagi kehalalannya yang diragukan, mengingat masakan Jepang ini kebanyakan menggunakan sake dan mirin sebagai bumbu wajibnya. Akhirnya kesimpulannya hanya satu: di sana harus masak sendiri!

Untunglah, saat itu sudah terbit bermacam2 bumbu instan… semoga penemu bumbu instan ini mendapatkan rahmat dari Allah SWT, atas bantuannya kepada orang2 yang tidak bisa memasak seperti diriku ini. Jadilah koperku dipenuhi dengan berbagai bumbu instan yang batas kadaluwarsanya dipilih selama mungkin, serta buku2 resep masakan yang tidak mengandung kata “secukupnya” atau “sesuai selera”.

Menjelang berangkat, ketika sedang mengecek daftar bawaan bersama adikku, Ummi bicara padaku,”Fit, besok Ummi beliin bumbu2 seger, ya…dikeringin, terus dibawa ke sana, ‘kan awet,tuh!” Aku hanya memandangi Ummi, bingung harus berkata apa, sampai adikku ketawa keras di belakangku. “Mii…Ummi lupa kali ya, nih anak ‘kan nggak ngerti bumbu sama sekali! Boro2 masak, paling ntar di sana ngeliatin bumbu2 kering itu dia cuman bengong sambil mikir: ini apa, makenya digimanain, ya…,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak.

Ummi tertawa geli mendengar kata2 adikku itu, saking gelinya sampai mengeluarkan air mata. Aku pun ikut tertawa…melihat gaya adikku memperagakan diriku memegang bumbu kering sambil kebingungan. “Iya, ya…ya udah, beli bumbu instannya yang komplit deh, biar nggak kelaperan di sana, ‘kan Ummi gak bisa masakin,” kata Ummi masih sambil tertawa geli. Ah, baru saat itu kusadari, betapa aku akan sangat kehilangan masakan Ummi yang super enak itu!

Singkat cerita, berangkatlah aku berbekal bumbu instan dan rendang Padang asli yang khusus dibuatkan oleh tanteku selama 4 jam lebih, agar tahan lama! Dan inilah penyebab kecelakaan pertamaku di dapur. Ceritanya si rendang ini, supaya tahan lama, langsung kumasukkan ke freezer. Berhubung hari2 pertama masih banyak undangan makan di sana-sini (aku selalu makan roti dan susu untuk sarapan, nasi hanya untuk siang dan malam saja), maka rendang ini duduk manis di sana. Ketika aku pertama kalinya makan siang di rumah, teringatlah pada si rendang tersayang yang sudah membeku. Dengan tenangnya, kumasukkan si beku ini ke panci, langsung nyalain kompor. Bukannya cair, yang ada malah si rendang ini gosong dengan sukses! Setelah menelpon tanteku, barulah misi penyelamatan pertama dilangsungkan. Berhubung saat itu aku belum punya microwave, jadilah rendang gosong tadi kudinginkan dulu, masukkan ke dalam plastik bersih, dan kusimpan di atas nasi dalam rice cooker. Sukses! Siang itu aku hanya makan nasi dengan kering tempe bekalku, namun malamnya sang rendang sudah kunikmati dengan lahapnya.

Dua tahun di Saitama, aku dikelilingi oleh para jago masak yang tidak pelit membagi ilmunya, namun tetap saja banyak misi penyelamatan yang harus kulakukan, semata2 karena sifat pelupaku, yang entah kenapa, selalu kambuh saat di dapur… demam panggung kali, yak.

Walaupun demikian, setiap saat ngumpul2 untuk masak di rumah teman, aku selalu memilih untuk tugas belanja, plus jagain anak2 mereka, ketika mereka sibuk memasak, dan akhirnya jadi tester saat masakan sudah jadi.

Satu hal yang kuingat adalah, ketika sahabatku berulang tahun. Entah kenapa, saat itu aku ingin sekali membuatkan kue untuknya, padahal aku belum pernah membuat kue sendirian! Alhamdulillah, kue coklat berhiaskan strawberry pertamaku itu sukses! Oleh sahabatku, kue itu dibagi ke teman2 se-asrama, dan 1/6-nya dibawa pulang. Sejak itulah, aku hanya membuat kue ini pada kesempatan tertentu, karena rasanya sudah karuan, hehehe!

Soal masakan, hanya sekali aku terpaksa menyumbang masakan, yaitu saat perpisahan kursus Jepang intensif di kampus, tahun 2001. Karena aku satu2nya dari Indonesia, jadi terpaksalah aku masak sendiri, dan untung saja masih ada bumbu bali instan di rumah. Jadilah bali telur dan tahu itu mewakili Indonesiaku… dan ternyata, Alhamdulillah…sukses! Temen dan para Sensei Jepun tidak kepedesan, dan temen Thailand juga cukup puas, walaupun kurang pedes bagi mereka.

Kembali dari Saitama, kembali aku tak bersentuhan dengan dapur. Pekerjaanku yang selalu pergi pagi pulang malam (kerja atau ngeronda, yah), plus Ummi yang hobi memasak, ditambah dengan banyaknya tukang jajanan di sekitar rumah, adalah pendukung kemalasanku untuk ke dapur. Dan ternyata, 4 tahun kemudian, aku dihadapkan pada kondisi yang sama…kembali ke Jepang, kembali harus memasak sendiri.

Kali ini kondisiku jauh berbeda, tinggal sendirian di Matsudo, tak seperti asrama di Saitama, membuatku (yang akhirnya bosan dengan rasa bumbu instan yang monoton) mulai ‘sedikit’ kreatif, walaupun tak jauh dari masakan tumisan serta bahan dasar telur (makanan favoritku) dan seafood.

Untungnya temen2ku di Chiba pun jago memasak. Jadilah, via telepon, aku berkonsultasi pada mereka, saat akan memasak resep baru. Selain itu, tanteku di BSD juga jadi sasaran bertanya, karena beliau mahir memasak yang praktis dan enak. Kalau Ummi sih, perbendaharaan bumbu masaknya sudah sangat advance, sehingga aku sering bertanya ke Ummi untuk teori2 dasar perbumbuan saja…*halah, kemelipen, le…wong cuman nanya: kemiri itu gunanya apa, gitu kok*

Satu hal yang wajib buatku: tidak boleh berbuat mubazir! Oleh karena itu, setiap ‘kecelakaan’ di dapur ini selalu kuakali dengan misi penyelamatan jadi2an, yang penting bahan makanan itu tidak terbuang. Biar tampangnya ajaib, yang penting enak, hehehe! Itulah sebabnya, hingga saat ini aku masih nggak PD untuk berbagi masakan dengan teman2…karena vocab-ku untuk makanan sedari dulu cuman 2: enak dan enak sekali….

Di Indonesia, kata nggak enak hanya kulontarkan untuk masakan pedes, karena tidak sanggup untuk memakannya. Namun di Jepun, tidak enak ini rata2 karena hambar bin anyepnya masakan di sini, tidak seperti masakan Indonesia yang full bumbu.

Hal lain yang kusuka di Jepang ini, walaupun kadang2 suka geli dengan pertanyaanku yang bahlul bin polos tentang per-dapur-an (contoh nyatanya: kemiri itu makenya gimana, ya? Diiris, diparut, atau gimana?), tapi teman2ku di sini selalu siap membantu dan berbagi ilmu, juga selalu memotivasi untuk selalu belajar memasak…hal tersulit ketiga bagiku setelah menggambar dan menghafal kanji.

Di sisi lain, pengalamanku selama ini membuatku semakin kagum kepada Ummi dan semua yang mahir memasak dan rajin ke dapur. Ternyata butuh perjuangan panjang untuk ‘sekedar’ menghadirkan satu jenis masakan di piring kita, si tukang makan ini. Survey di TV Jepang (lupa sumbernya) telah membuktikan bahwa kecelakaan terbanyak justru terjadi di dapur, dari mulai kompor meleduk, minyak nyiprat karena masakan beku yang langsung digoreng tanpa dicairkan lebih dulu, bumbu2 yang mengandung gas yang bisa meledak jika diletakkan deket kompor, sampai dengan telor rebus yang meletus saat dihangatkan di microwave, dsb..

Selain itu, ternyata banyak sekali yang perlu diperhatikan agar masakan masih tetap “sehat” sesudah matang, mulai dari proses pengirisan, menggoreng, dsb.. Sehat di sini dalam arti vitamin dan zat2 lain yang terkandung di dalamnya tidak hilang dalam proses pemasakan. Jadi inget pelajaran tata boga di SD dan SMP dulu, ternyata memasak sudah menjadi satu ilmu tersendiri karena kompleksnya pekerjaan ini.

Pantas saja, sedari dulu Abi selalu berkata,”Kalau makan, habisin yang bersih, jangan disisakan. Masih banyak orang-orang di luar yang kekurangan makan, jadi kita nggak boleh membuang2 makanan!” Atau pesan Abi lainnya,”Jangan pernah menghina makanan, apa yang ada dimakan, karena itu rejeki dari Allah.” Inilah salah satu sebabnya kenapa vocab makananku hanya enak dan enak sekali.

Ini juga kurasakan sendiri, saat pertama kalinya aku menjamu temanku di Saitama. Saat itu temanku dan suaminya (orang Jepang), main ke rumah. Aku hanya masak nasi uduk (bumbu instan, pastinya), tempe goreng, dan dadar telur isi sosis. Apa yang terjadi? Ternyata suami temenku itu makannya nambah! Temenku saja sampai bengong…,”Wah, baru sekali ini dia makan nambah, Fit…biasanya di rumah cuman dikit doang!” Hehehe…aku jadi tersandung, eh…tersanjung, deh. Lah, si temenku ini kan lebih jago masak dariku. Jangan2 emang karena laper aja kali, yak, soalnya rumah mereka 1,5 jam dengan KA dari Saitama.

***

Pada akhirnya, seperti yang pernah kubilang pada seorang teman, tak ada yang tak mungkin, selama kita masih diberi waktu. Begitu juga untuk memasak ini. Perjalanan untuk bisa memasak memang masih jauh, tapi bukannya tak mungkin. Butuh waktu dan kemauan, pastinya.

Selagi ada kesempatan belajar dari temen2 yang ahli masak di sini, selagi masih bisa bertanya2 pada Ummi dan tante, selagi masih sempet ke dapur, selagi masih bisa bikin kecelakaan dan penyelamatan tanpa harus dimarahi orang lain, selagi masih butuh makan, selagi harus kepepet masak sendiri (lho!), ayooo…memasaaaaaak, eh…belajar masak, ding…salah lagi deh, hihihi.

***

Buat semuanya yang sudah direpotkan dengan ketidakmampuan masakku dan sering memasakkan buatku (terutama Ummi), mohon maaf dan terima kasih sedalam2nya…semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan pahala-Nya bagi semuanya.

*T*A*M*A*T*

Nishi Chiba, 19 Januari 2008 (01.12 JST)

(After another kitchen accident, as usual)