Thursday, August 28, 2008

Nasi telah Jadi Bubur… Ayam!

Sudah lama banget aku denger peribahasa ini dari seorang temen, kalau nasi sudah jadi bubur, jangan menyesali si nasinya, tapi gimana caranya bikin bubur ini jadi bubur ayam yang enak. Tapi baru kali ini aku melihat contoh soalnya (halah, emang PR Matematika kali, ya).

 

Ceritanya, sambil makan malem, aku nonton acara TV Champion (di Indonesia ini juga salah satu acara favoritku). Tema kali ini adalah Sand Art selama 50 jam di tepi salah satu pantai Jepun, tapi acaranya sih tetep aja cuman sejam, hehehe. Nah, salah satu tim ini membuat bangunan pasir yang menyerupai Sakurada Familia, salah satu bangunan dengan 4 puri di Spanyol.

 

Setelah bekerja selama 7 jam, tiba2 salah satu personil tim ini meruntuhkan sebuah puri yang sedang dipahatnya. Bayangin aja, 7 jam! Bahkan si MC bilang kalau ini gawat banget. Tapi dengan tenangnya, pas si bapak ini sedang sedih menatap reruntuhan pasir tadi, si ketua tim bilang ke dia,”Ya udah, bikin aja yang itu tea… (in Jepun lho, pastinya ini terjemahan bebas dari Si Bonek saja, hehehe).”

 

Sementara itu hari telah berangsur gelap, dan setelah iklan, tayangan ini kembali lagi dengan memunculkan sang reruntuhan pasir tadi di pagi berikutnya, yang telah berubah menjadi… patahan puri! Yap, sisa pasir tadi berubah menjadi puri yang patah, dan memiliki tekstur ujung patahan yang mirip banget dengan patahan puri tadi di bawahnya, lengkap dengan pahatan ribet serupa seperti ketiga puri utuh lainnya (lihat foto di atas)! Hasilnya? Waduh, maaf banget, tadi nyambi nelepon ke Indonesia, jadinya nggak mudheng juga, si tim ini jadi juara atau nggak, hehehe.

 

Jadi intinya, sih… jika ada nasi telah jadi bubur, jangan buang buburnya, tapi manfaatkanlah bubur tadi semaksimal mungkin, sehingga tetep dapat dinikmati tanpa menimbulkan kemubaziran. Memanfaatkan apa yang ada, Insya Allah akan membuat kita lebih menghargai apa yang dimiliki, dan tidak selalu mengharapkan apa yang ada di luar sana, karena belum tentu itulah yang terbaik bagi kita (edisi sok serius mode on).

***

(Dari sini)

Nishi Chiba, 28 Agustus 2008 (21.30 JST)

*Di tengah setoran tak kunjung padam*

 

 

 

Nasi telah Jadi Bubur… Ayam!

Sudah lama banget aku denger peribahasa ini dari seorang temen, kalau nasi sudah jadi bubur, jangan menyesali si nasinya, tapi gimana caranya bikin bubur ini jadi bubur ayam yang enak. Tapi baru kali ini aku melihat contoh soalnya (halah, emang PR Matematika kali, ya).

 

Ceritanya, sambil makan malem, aku nonton acara TV Champion (di Indonesia ini juga salah satu acara favoritku). Tema kali ini adalah Sand Art selama 50 jam di tepi salah satu pantai Jepun, tapi acaranya sih tetep aja cuman sejam, hehehe. Nah, salah satu tim ini membuat bangunan pasir yang menyerupai Sakurada Familia, salah satu bangunan dengan 4 puri di Spanyol.

 

Setelah bekerja selama 7 jam, tiba2 salah satu personil tim ini meruntuhkan sebuah puri yang sedang dipahatnya. Bayangin aja, 7 jam! Bahkan si MC bilang kalau ini gawat banget. Tapi dengan tenangnya, pas si bapak ini sedang sedih menatap reruntuhan pasir tadi, si ketua tim bilang ke dia,”Ya udah, bikin aja yang itu tea… (in Jepun lho, pastinya ini terjemahan bebas dari Si Bonek saja, hehehe).”

 

Sementara itu hari telah berangsur gelap, dan setelah iklan, tayangan ini kembali lagi dengan memunculkan sang reruntuhan pasir tadi di pagi berikutnya, yang telah berubah menjadi… patahan puri! Yap, sisa pasir tadi berubah menjadi puri yang patah, dan memiliki tekstur ujung patahan yang mirip banget dengan patahan puri tadi di bawahnya, lengkap dengan pahatan ribet serupa seperti ketiga puri utuh lainnya (lihat foto di atas)! Hasilnya? Waduh, maaf banget, tadi nyambi nelepon ke Indonesia, jadinya nggak mudheng juga, si tim ini jadi juara atau nggak, hehehe.

 

Jadi intinya, sih… jika ada nasi telah jadi bubur, jangan buang buburnya, tapi manfaatkanlah bubur tadi semaksimal mungkin, sehingga tetep dapat dinikmati tanpa menimbulkan kemubaziran. Memanfaatkan apa yang ada, Insya Allah akan membuat kita lebih menghargai apa yang dimiliki, dan tidak selalu mengharapkan apa yang ada di luar sana, karena belum tentu itulah yang terbaik bagi kita (edisi sok serius mode on).

***

(Dari sini)

Nishi Chiba, 28 Agustus 2008 (21.30 JST)

*Di tengah setoran tak kunjung padam*

 

 

 

Monday, August 25, 2008

8 Tips Sambut Ramadhan

Marhaban ya Syahru Ramadhan…

 

Hari demi hari terlalui,

penuh tawa ceria dan sapa canda,

kesal dan amarah pembuat luka,

atau pun sesal dan sebersit duka.

 

Tak terasa Ramadhan menjelang,

mari sambut dengan gembira dan hati lapang,

mohon maaf atas segala kehilafan,

baik lisan, tulisan, maupun perbuatan.

 

Semoga Allah kembali mengijinkan,

‘tuk bersua kembali dan beribadah,

Di bulan yang penuh berkah…

 

***

(Dari sini)

Nishi Chiba, 25 Agustus 2008 (17.18 JST)

Sepekan menjelang Ramadhan 1429 H

*****

8 Tips Sambut Ramadhan

Oleh: Ulis Tofa, Lc
 

dakwatuna.com - Ramadhan yang penuh kelimpahan kebaikan dan keutamaan, akan dapat dirasakan dan diraih ketika ilmu tentang Ramadhan dipahami dengan baik.

Bayangkan, para generasi awal Islam sangat merindukan bertemu dengan bulan suci ini. Mereka berdo’a selama enam bulan sebelum kedatangannya agar mereka dipanjangkan umurnya sehingga bertemu dengan Ramadhan. Saat Ramadhan tiba, mereka sungguh-sungguh meraih kebaikan dan keuataman Ramadhan. Dan ketika mereka berpisah dengan Ramadhan, mereka berdo’a selama enam bulan setelahnya, agar kesungguhannya diterima Allah swt. Kerinduan itu ada pada diri mereka, karena mereka sadar dan paham betul keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.

Bagaimana menyambut bulan Ramadhan? Berikut kami hadirkan “8 Tips Sambut Ramadhan” :

1. Berdoa agar Allah swt. memberikan umur panjang kepada kita sehingga kita berjumpa dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal: Puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan. Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadan.” (HR. Ahmad dan Tabrani)

2. Pujilah Allah swt. karena Ramadhan telah diberikan kembali kepada kita. Imam An Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata: ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah swt. kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan.

3. Bergembira dengan datangannya bulan Ramadhan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya setiap kali datang bulan Ramadhan: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

4. Rencanakan agenda kegiatan harian untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadhan. Ramadhan sangat singkat, karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

5. Kuatkan azam, bulatkan tekad untuk mengisi waktu-waktu Ramadhan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah swt., maka Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” Muhamad:21.

6. Pahami fiqh Ramadhan. Setiap mukmin wajib hukumnya beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadhan datang agar amaliyah Ramadhan kita benar dan diterima oleh Allah swt. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahu.” Al-Anbiyaa’ ayat 7.

7. Kondisikan qalbu dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs –pemberishan jiwa-. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental, dan jiwa kita siap untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah swt. di bulan Ramadhan.

8. Tinggalkan dosa dan maksiat. Isi Ramadhan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Lembaran baru kepada Allah, dengan taubat yang sebenarnya taubatan nashuha. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” An-Nur:31. Lembaran baru kepada Muhammad saw., dengan menjalankan sunnah-sunnahnya dan melanjutkan risalah dakwahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahim. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, “Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”

Semoga Allah swt. memanjangkan umur kita sehingga berjumpa dengan Ramadhan. Dan selamat meraih kebaikan-kebaikannya. Amin ya Rabbana. Allahu a’lam. (io)

***

(Dikutip dari sini)


8 Tips Sambut Ramadhan

Marhaban ya Syahru Ramadhan…

 

Hari demi hari terlalui,

penuh tawa ceria dan sapa canda,

kesal dan amarah pembuat luka,

atau pun sesal dan sebersit duka.

 

Tak terasa Ramadhan menjelang,

mari sambut dengan gembira dan hati lapang,

mohon maaf atas segala kehilafan,

baik lisan, tulisan, maupun perbuatan.

 

Semoga Allah kembali mengijinkan,

‘tuk bersua kembali dan beribadah,

Di bulan yang penuh berkah…

 

***

(Dari sini)

Nishi Chiba, 25 Agustus 2008 (17.18 JST)

Sepekan menjelang Ramadhan 1429 H

*****

8 Tips Sambut Ramadhan

Oleh: Ulis Tofa, Lc
 

dakwatuna.com - Ramadhan yang penuh kelimpahan kebaikan dan keutamaan, akan dapat dirasakan dan diraih ketika ilmu tentang Ramadhan dipahami dengan baik.

Bayangkan, para generasi awal Islam sangat merindukan bertemu dengan bulan suci ini. Mereka berdo’a selama enam bulan sebelum kedatangannya agar mereka dipanjangkan umurnya sehingga bertemu dengan Ramadhan. Saat Ramadhan tiba, mereka sungguh-sungguh meraih kebaikan dan keuataman Ramadhan. Dan ketika mereka berpisah dengan Ramadhan, mereka berdo’a selama enam bulan setelahnya, agar kesungguhannya diterima Allah swt. Kerinduan itu ada pada diri mereka, karena mereka sadar dan paham betul keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.

Bagaimana menyambut bulan Ramadhan? Berikut kami hadirkan “8 Tips Sambut Ramadhan” :

1. Berdoa agar Allah swt. memberikan umur panjang kepada kita sehingga kita berjumpa dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal: Puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan. Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadan.” (HR. Ahmad dan Tabrani)

2. Pujilah Allah swt. karena Ramadhan telah diberikan kembali kepada kita. Imam An Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata: ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah swt. kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan.

3. Bergembira dengan datangannya bulan Ramadhan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya setiap kali datang bulan Ramadhan: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

4. Rencanakan agenda kegiatan harian untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadhan. Ramadhan sangat singkat, karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

5. Kuatkan azam, bulatkan tekad untuk mengisi waktu-waktu Ramadhan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah swt., maka Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” Muhamad:21.

6. Pahami fiqh Ramadhan. Setiap mukmin wajib hukumnya beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadhan datang agar amaliyah Ramadhan kita benar dan diterima oleh Allah swt. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahu.” Al-Anbiyaa’ ayat 7.

7. Kondisikan qalbu dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs –pemberishan jiwa-. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental, dan jiwa kita siap untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah swt. di bulan Ramadhan.

8. Tinggalkan dosa dan maksiat. Isi Ramadhan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Lembaran baru kepada Allah, dengan taubat yang sebenarnya taubatan nashuha. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” An-Nur:31. Lembaran baru kepada Muhammad saw., dengan menjalankan sunnah-sunnahnya dan melanjutkan risalah dakwahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahim. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, “Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”

Semoga Allah swt. memanjangkan umur kita sehingga berjumpa dengan Ramadhan. Dan selamat meraih kebaikan-kebaikannya. Amin ya Rabbana. Allahu a’lam. (io)

***

(Dikutip dari sini)


Wednesday, August 20, 2008

Studi vs Prospek Nikah?

Si V            : Wah, lagi S3? Berarti calonnya nanti minimal juga kudu doktor, dong?

Paman W    : Jangan sekolah melulu, ntar gak nikah2, lho!

Mbak X     : Aku gak jadi nerusin doktor, ah… wong lulus master gini aja belum juga dapet jodoh!

Mahasiswi Y : Jadi wanita nggak perlu sekolah tinggi2, ‘kan nantinya ke dapur juga!

Mbak Z    : Si A mundur, Mbak… soalnya dia masih kuliah S2, padahal Mbak udah Master!

 

Beberapa komen di atas sering muncul di sekitarku, terutama yang senada dengan V, W, dan X. Komen yang mengarah pada satu kesimpulan: pendidikan yang tinggi bagi wanita akan meningkatkan kesulitan untuk mendapatkan jodoh baginya! Percaya atau tidak, hal tersebut belakangan ini membuat teman2 wanitaku enggan untuk melanjutkan studinya, padahal mereka memiliki kesempatan dan kemampuan untuk itu. Salah satunya… ya, tentu saja si Mbak X ini. Padahal kesempatan terbuka lebar baginya, dan saat itu ia juga belum mendapatkan kejelasan, dengan siapa akan menikah.

 

Kalau sang calon pendamping sudah jelas, pasti beda lagi situasinya. Tinggal didiskusikan dengan yang bersangkutan, bereslah sudah! Namun yang kebanyakan mengorbankan studi demi menanti sang calon suami ini, justru mereka yang masih benar2 sendiri, dalam arti tidak sedang berproses/dekat dengan pria manapun.

 

Menanti sang pendamping, memang salah satu dari ketidakpastian. Ada berbagai kemungkinan yang membuat sang qawwam ini belum hadir juga. Yang pertama, tentunya kriteria dari si muslimah itu sendiri. Kalau dia menentukan kriteria yang terlalu ‘biasa’, bisa jadi, justru inilah yang mempersulit kehadiran sang pendamping hidup. Lho, kok bisa? Ya, iya, lah… wong maksudnya sang suami itu harus ‘biasa’ berakhlaq Al-Qur’an bak Nabi Muhammad SAW, berwajah ‘biasa’ ala Nabi Yusuf AS, ‘biasa’ kaya dan berkuasa bagai Nabi Sulaiman AS, dan ‘biasa’ sabar seperti Nabi Ayyub AS! Wah, kalau yang kayak gini sih, mau bumi ditegakkan dan diruntuhkan berapa kali juga nggak bakalan ketemu, deh!

 

Jadi, sebelum menentukan kriteria, ada baiknya kita juga berkaca pada diri sendiri. Bukankah Allah telah menyampaikan dalam Q.S. An-Nuur: 26, bahwa: “… perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula).”  Kesimpulannya? Ya, kalau kita tidak sebijaksana dan sesholehah Khadijah RA, atau pun secerdas dan seberani Aisyah RA, jangan pasang kriteria setinggi Rasulullah dan kawan-kawan, dong!. Cari kriteria yang membumi, karena kita memang tinggal di bumi, bukan di awang2.

 

Yang kedua, berusaha/ikhtiar. Kalau menurut Ustadz Arif Rahman (Pak Kepsek Lab School) dalam ceramah Ramadhan di kantorku dulu, ada 3 bentuk ikhtiar yang bisa dilakukan oleh muslimah untuk ‘menjemput’ sang qawwam ini:

a)     Meluruskan niat dan membuka diri. Maksudnya bergaul, secara syar’i tentunya. Kalo ngumpet terus di rumah, gimana mau ketemu orang, dong? Jangan2 malah selama ini orang di sekitar nggak ngeh kalo kita ada, karena hibernasi melulu, hehehe. Terus soal niat, mesti diseriuskan bahwa niatnya memang untuk nikah, menggenapkan setengah agama. Bukan cuman untuk hura-hura atau pacaran yang nggak ketahuan juntrungannya. Bukankah segala sesuatu itu berawal dari niat? Jika niat baik, jalannya baik, dan tujuannya baik; Insya Allah akan dipermudah dan dilancarkan.

b)     Meminta rekomendasi teman/kerabat/keluarga. Sama dengan rejeki, yang namanya jodoh itu juga datangnya dari arah yang tak disangka-sangka. Kalau nggak percaya, tanya, deh… ke temen2 sekitar yang sudah nikah, pasti banyak cerita2 ajaib soal pertemuannya dengan pendamping hidupnya saat ini. Di sisi lain, kita juga mesti hati2 dan memilih teman yang dapat dipercaya, jangan asal OK aja. Ingat, nikah itu bukan cuman untuk sebentar dua bentar, tapi Insya Allah hingga bertemu di surga nanti (ceileh, bahasanya, euy!).

Jadi pastikan bahwa semua informasi yang didapatkan adalah yang paling up-to-date, akurat, tajam, dan tepercaya! Jangan mudah percaya dengan sesuatu yang berawalan dengan: “Kudengar dari temen, temenku punya kawan, kawannya ini sohiban sama si B, nah… temen sebangkunya tetangga si B ini katanya lagi nyari istri.” Welahdalah, jauh banget, yak …’kan susah untuk cek en riceknya infonya nanti. Sebenernya paling enak memang kalau dijodohin sama orang tua, asalkan kriteria mendasar kita sama dengan mereka. Soalnya tiap orang tua pasti akan memilihkan yang terbaik buat anaknya. Nah, tinggal pinter2 negosiasi aja sama orang tua, biar tidak ada tabrakan kepentingan di sini, karena seringkali patokan kriteria sang ortu berbeda dengan sang anak.

c)      Last but not least, berdoa. Niat udah, usaha udah, tinggal tawakkal, pasrahkan dan mintakan yang terbaik kepada Allah, karena hanya Dia-lah yang mengetahui kepastian tentang jodoh kita. Selalu berbaik sangkalah kepada-Nya, karena hanya Allah yang mengetahui mana yang terbaik bagi kita.

 

Nah, kembali ke soal pendidikan tinggi dan hubungannya dengan berkurangnya prospek untuk menikah. Terus terang, setidaknya ada empat alasan bagiku untuk menolak pendapat ini.

  1. “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim[1].” Catat: setiap muslim, yang berarti baik laki-laki maupun perempuan. Memang, menuntut ilmu tidak wajib lewat pendidikan formal, tapi kalau kesempatan dan kemampuan memungkinkan, kenapa tidak? Percaya deh, yang namanya sekolah itu nggak bakalan ada ruginya. Kecuali kalau niat sekolah bukan untuk menuntut ilmu, tapi cuman pengen gaul dan kongkow2 bareng temen di luar kelas, memperluas jaringan *halah*. Kalau ini mah, jelas rugi banget, udah buang waktu, tenaga, dan biaya, tapi yang kita dapet sama sekali nggak setara dengan itu.

Selain itu, patut diingat bahwa kelak bila sudah menikah dan melahirkan, seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak2nya. Itulah sebabnya, pendidikan bagi seorang ibu dan calon ibu sangat penting. Kebayang nggak sih, kalau ibunya lulusan SD, terus waktu si anak duduk di SMP nggak bisa ngerjain/nggak ngerti PR-nya, mau bertanya ke siapa? Ibunya nggak paham, ayahnya belum tentu sempat ngajarin. Kasihan si anak, ‘kan? Apalagi di era globalisasi seperti ini, di mana sang ibu juga dituntut untuk berpacu dengan waktu, agar dapat memberikan bekal pendidikan yang manstab bagi sang anak, sehingga sang anak bisa mandiri, sholeh/ah, dan tidak gampang terpengaruh dengan lingkungannya.

  1. Jodoh merupakan salah  satu dari tiga sekawan (bersama rejeki dan maut, maksudnya) yang hanya diketahui kepastiannya oleh Allah SWT. Tiga sekawan itu telah dituliskan sejak awal nyawa kita ditiupkan (CMIIW). Kalau kita menganggap bahwa orang yang berpendidikan tinggi itu sulit mendapatkan jodoh, wah… berarti sama saja kita menganggap bahwa Allah pilih kasih, tidak adil pada wanita yang berpendidikan tinggi, soalnya hak prerogatif nentuin jodoh itu ‘kan di tangan Beliau? Pastinya, Allah nggak gitu, deh! Mungkin ‘kesulitan’ bertemu jodoh ini justru karena kriteria yang terlalu tinggi tadi, sehingga walaupun yang bersangkutan sudah di depan mata, tapi si wanita masih tetap berharap yang lebih dan lebih, tanpa memperhitungkan kualitas dirinya sendiri, sehingga menolak sang jodoh yang telah ditetapkan.
  2. Tingkat pendidikan formal yang tinggi bukan berarti tahu segalanya. Mungkin pada inget, kita dulu belajar “sapu jagad” justru saat di SD: dari belajar baca tulis angka, huruf Latin, Jawa, dan Arab sampe not balok; dari sejarah Kutai sampe teori relativitas; dari melipat kertas sampe menjahit; dari berkebun sampe olahraga. Lama-kelamaan, pendidikan kita beralih dari generalis menuju ke spesialis, yang dimulai sejak penjurusan di SMA, terus berlanjut hingga akhirnya di S3 kita hanya menambah pengetahuan untuk jenis bidang ilmu yang digeluti saja.

Jadi kalau ada yang bilang bahwa muslimah lulusan S3 mesti nikah dengan pria yang minimal S3, rasanya nggak juga. Semuanya tergantung pada pribadi masing2. Karena kemampuan akademik tidak mencerminkan kepribadian seseorang sepenuhnya. Idealnya memang sekufu. Tapi sekufu bukan berarti setara dalam gelar akademik, ‘kan? Jika calon qawwam yang diajukan memiliki kepribadian yang sholeh, akhlaq yang baik, dan pola pikir serta komunikasi yang nyambung (walaupun gelar akademik yang dimilikinya lebih rendah dari si wanita), kenapa tidak diterima? Selama bisa saling menghormati, Insya Allah perbedaan status pendidikan ini tidak akan menjadi masalah dalam bahtera rumah tangga nanti.

  1. Memanfaatkan waktu sambil menanti kepastian di tengah ketidakpastian. Menuntut ilmu adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas diri dalam masa penantian yang tidak pasti ini. Jangan sampai kita duduk manis menunggu si godot, eh si jodoh ini, deh! Pasti semua sudah mendengar hadist ini:”Manfaatkanlah lima (keadaan) sebelum (datangnya) lima (keadaan yang lain): Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.[2]  Iya kalau nunggunya bentar, kalau lama? Rugi banget, kan… buang2 waktu dan kesempatan hanya karena mengandalkan sesuatu yang belum pasti kapan tibanya.

Jika sang qawwam belum juga hadir, pastinya ada alasan Allah untuk itu. Mungkin saja kita diberikan kesempatan untuk berkarya semaksimal mungkin sebelum menikah, karena pernikahan bagi beberapa orang dapat mengurangi kebebasan untuk beraktivitas, apalagi jika anak-anak telah hadir menemani. Psst, pernah seorang wanita bilang kepadaku,”Enak ya, kalau belum nikah, bisa sekolah kemana-mana, bisa kerja di tempat yang kita suka. Kalau udah nikah, mah… semua kudu pake ijin suami, apalagi setelah ada anak… nggak bisa ditinggal sama sekali, ribet banget, dah!”

Hehehe… pastinya, nggak semua begitu, lho! Banyak kok, temen2 yang sudah nikah dan punya anak, tapi tetep bisa beraktivitas seimbang di keluarga dan masyarakat. Jadi komen si Y di atas juga nggak masuk hitungan, deh… karena sebaik-baik manusia, adalah yang paling bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Hal yang perlu diingat adalah, komunikasikan keinginan untuk tetap beraktivitas di luar rumah ini pada sang calon pendamping, agar tidak menyesal di kemudian hari.

 

Tapi jika masih ada pria yang mundur hanya karena status pendidikan yang lebih rendah dari si wanita seperti kata si Z, gimana dong? Ya… itu sih problem dia, bukan kita, hehehe. Karena orang yang terbaik bagi kita adalah yang dapat menerima kita apa adanya, sebagaimana penerimaan kita terhadapnya.

 

Qawwam yang tepat bagi seorang wanita adalah yang mampu menerima calon istrinya dalam kondisi walau (walau nggak bisa masak, walau nggak feminin, walau pendidikannya lebih tinggi, walau beda suku, walau dari keluarga yang biasa saja), bukan dengan syarat kalau (kalau pinter masak, kalau feminin dan lemah-lembut, kalau pendidikannya setara/di bawahnya, kalau dari suku yang sama, kalau anak orang kaya…*halah*). Wah… kalau syaratnya mengubah sejarah pendidikan, keturunan, kekayaan, dan kepribadian begini mah, mendingan milih orang lain aja, deh!.

 

Kesimpulannya, tetaplah untuk terus maju. Selama apa yang kita kerjakan itu baik, benar, dan halal, kenapa mesti ragu? Karena waktu terlalu berharga, untuk disia-siakan dalam penantian yang belum jelas ujungnya. Begitu berharganya waktu, sampai Allah pun mengatakan dalam Q.S. Al-Insyirah: 7, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)….” Bila sang sandaran hati tak juga berjumpa di dunia ini, Insya Allah pasangan abadi akan dipertemukan di akhirat nanti.

***

Finally… just be yourself, do your best, think positive, and keep praying for His guidance, because only Allah who knows the best for us ….

*****

Nishi Chiba, 20 Agustus 2008 (23.47 PM)

Semoga Allah senantiasa menempatkan kita dalam naungan hidayah dan ridha-Nya…

 (Dari sini)

 



[1] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum.