Tuesday, December 04, 2007

From Narita with Love



Ini kisah saat merapat di Narita habis mudik tanggal 23 November 2007. Jadi begini latar belakangnya. Sejak dari Cengkareng, aku sudah heboh ngusung2 si Ai (koperku yang warna abu-abu dan item…hehehe, gak kreatip banget ngasih namanya, yak). Si Ai ini batas maksimalnya cuman 30 kg, tapi baru kali ini dia “kupaksa” membawa 35 kg, karena beratnya buku2 dan stok bumbuku untuk setahun ke depan. Lho, kok nekat? Tenang, tenang… berhubung daku ikutan program mileage dan sudah dapet medali perak, alias silver card, jadinya dapet rejeki bagasi 40 kg deh (bonus 10 kg, hehe), walaupun tiket kelas ekonomi (pastinya, pelajar gitu lho).

Nah, pas di Cengkareng (CGK), berhubung adikku yang nganter nggak boleh masuk, sejak dari awal masuk ke scanning bagasi, aku harus selalu minta maaf dan tolong ke petugas, buat bantuin ngangkat si Ai ini. Entah kenapa, kalo nggak ngomong, kok beliau2 ini cuman berdiri aja sambil ngeliatin aku “berantem” sama Ai ini… apa dipikirnya aku Xena kali ya, super kuat, hihihi.

Nggak cuman itu, pas giliran ngiket bagasi pun, mereka gak nawarin bantuan sama sekali, malah dengan tenangnya bilang,”Yak, sini Bu, taruh sini kopernya, Bu…” Dengan menyabarkan hati aku jawab, “Maaf, Pak berat nih, bisa tolong dibantu?” Baru deh, mas2 yang berdiri di deket mesin itu bergerak, tadinya cuman ngeliatin doang, soalnya yang mengoperasikan si pengiket itu bukan dia, tapi si Bapak yang nyuruh naruh koper tadi, biyuuh . Eh, pas ngangkat, baru deh si mas ini komentar, “Wah, berat banget nih Bu, kelebihan, ya? Ditimbang, nggak di rumah?” “Ditimbang kok, udah pas,”kataku…(ya, kan cuman 35, jatahnya 40, hehehe).

Dari situ, barulah check in. Dari jauh si Mas udah menyapaku,”Selamat malam, Ibu Fithri, ke Tokyo, Bu?” Aku yang sedang sibuk ngeluarin paspor spontan berhenti sebentar, ganti bertanya bingung,”Lho, kok Mas tahu nama saya?” “Iya dong, Bu…kalau yang sering2 terbang gini harus dihafal,”kata si Mas itu dengan ramah. “Wah, hebat banget, bisa ngapalin yang sering2 terbang,”pujiku tulus dengan tampang masih kebingungan bercampur kagum, sementara si Mas senyam-senyum sambil mulai ngecek paspor dan tiketku. Sementara itu aku masih bingung, kok dia tahu namaku ya, wong terakhir ke Narita (NRT) ‘kan Februari lalu, dan seingetku dulu yang ngurusin tiket Mbak2, bukan dia. Kalo memang ngapalin, wuih…hebat banget, lah wong nama satu orang aja aku suka cepet lupa, apalagi ini… banyak banget pastinya!

Terus giliran menimbang. Kembali kasus berulang, minta tolong angkatin si Ai. Dan yang nolongin, kembali si Mas yang dari tempat ngiket tadi, soalnya si Mas ini kan tempatnya di balik meja, jadi agak susah geraknya. Ternyata si Ai ini 38 kg (beda 3 kg dengan timbangan di rumah), plus kardus kecil isi kripik cs seberat 4 kg (kalo gak dikardusin, pastilah sang kripik ini menjadi bubuk dengan halusnya), jadilah total 42 kg, yang Alhamdulillah…masuk bagasi dengan sukses. Di perjalanan ngurus fiskal inilah, aku baru inget, di pegangan Ai terpasang name tag-ku yang gede banget tulisannya (lihat foto). Pantesss…si Mas tadi ngebaca toh, hihihi. Kali dia geli juga ngeliat tampangku yang bahlul banget plus kagum tadi ya.

Singkat cerita, sampelah aku di NRT keesokan harinya. Ketika masuk bagian imigrasi, bagian re-entry permit holders dipisah lagi menjadi 2: Foreign passport dan Japan passport, padahal biasanya disatuin. Rupanya ini kelanjutan dari penerapan foto dan sidik jari buat warga asing di Jepang, seperti yang kubaca sebelumnya dari berita di milis serta MP-nya Eka.

Saat tiba giliranku, aku masih celingukan mencari tempat fotonya. Yang terbayang di benakku adalah seperti kita bikin SIM di Jakarta, stempel 10 jari plus difoto langsung di sebuah tempat. Ketika menunduk mencari sesuatu di tas, si Mbak Jepun ini bilang dalam Bhs. Inggris,”Tolong liat ke atas, ya, saya mau nyocokin dengan paspor.” Terus dia menyuruhku menaruh kedua jari telunjuk ke mesin kecil di sudut kananku. Ah, ternyata ini mesin sidik jarinya! Digital pastinya, gak belepotan tinta, hehehe. Si Mbak, sambil melihat ke kirinya, sibuk memberi instruksi lagi padaku, ke kanan, ke atas dikit, tahan dikit, dan saat itulah…aku melihat mesin foto digital yang ternyata bersatu dengan si sidik tadi. Yah, Mbak, kenapa sih nggak bilang aja “Liat sini, ya!”sambil nunjuk ke lensa kamera. Jadilah semuanya kelar dalam waktu kurang dari semenit.

Ambil bagasi, dan hal yang kutakutkan sejak di CGK akhirnya terjadi juga: pegangan si Ai lepas! Padahal cuman mindahin dari ban berjalan ke troli, mana dibantuin pula sama Bapak2 dari Indonesia (tanpa kuminta lho, makasih banget ya, Pak) yang kebetulan mengantri di sebelahku. Akhirnya karena banyak yang ngantri, kutempelkan saja si handel itu sebelah, terus langsung keluar, menuju ke pabean, dan Alhamdulillah, tanpa “perlawanan” sama sekali (perang kali, yak), daku langsung menuju ke tempat pengiriman koper.

Setelah menanyakan harga dan waktu tiba di tujuan, si Mbak dari perusahaan pengiriman ini langsung mengambil si Ai di handel yang nempel setengah tadi, dan berteriak kaget saat terlepas. Aku yang juga kaget, karena tak mengira si Mbak akan mengambil Ai, belum sempat menjelaskan, ketika si Mbak dan Bapak2 yang di belakangnya sudah sibuk meminta maaf sambil membungkuk berkali2. Barulah setelah si Bapak sibuk membetulkannya, si Mbak beranjak ke mejanya, dan memroses pesanan pengirimanku. Karena si Ai ini lebih dari 30 kg, jadi bayarnya lebih mahal dari yang biasa, tapi daripada aku heboh sepanjang jalan, mending dikirim, deh. Ketika akan menuju platform KA ke rumah, kembali mereka membungkukkan badan sambil minta maaf, padahal sudah berkali2 aku bilang nggak papa dan terima kasih. Akhirnya, pk. 11.00 daku tiba dengan selamat di rumah, disambut dengan suhu 6 derajat Celsius.

Malemnya, sekitar 17.25 JST (Isya aja sudah jam 17.53 JST, hehehe), datanglah si Ai, lengkap dengan full-lakban di kedua handelnya, dan terbungkus plastik rapi! Dan di luar harapanku sebelumnya, ternyata ketika lakban2 ini kubuka, si handel sudah terpasang sempurna di badan Ai (lihat foto), seperti kondisi di CGK! Wah, memang servis di sini memuaskan banget… Berharap negeri kita bisa menghormati konsumen kayak gini, ntar dibilang mimpi kali yeee…Hehehe.

***

Nishi Chiba, 4 Desember 2007 (22.03 JST)

Di sela2 nguber setoran