Monday, August 11, 2008

Pesta Extravaganza … Selanjutnya Apa?

Malam 8 Agustus 2008, tepat pk. 08.08 waktu setempat, atau 09.08 JST, kami menyaksikan pembukaan Olimpiade bareng di rumah seorang teman. Malam itu juga, kembali Cina membuka mata dunia, bahwa masih ada negara besar di dunia ini selain sang adidaya, yang mendominasi dunia sejak Uni Soviet tenggelam dengan ‘glasnost’ dan ‘perestroika-nya’.

 

Tidak hanya ribuan personil yang mewarnai pentas kolosal ini, pesta extravaganza tersebut juga menunjukkan kecanggihan teknologi dan ketinggian budaya, yang dengan megahnya diwakili dengan parade bela diri, kostum, dan budaya tradisonal lainnya, serta sejarah penemuan benda penting di dunia oleh negara ini: kertas.

 

Pertanyaan yang pertama kali menyeruak di benakku adalah: berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk unjuk kemewahan malam itu? Stadion sarang burung bisa dikategorikan sebagai investasi jangka panjang, tapi bagaimana dengan kembang api, kostum personil, serta berbagai teknologi tingkat tinggi yang digelar hanya untuk malam itu?

 

Pertanyaan yang sama juga selalu muncul di saat menghadiri pesta pernikahan yang mewah di ibukota. Orang tua puas, pengantin bahagia, makanan nikmat dan berlimpah, para rekanan senang karena masuk daftar undangan. Namun setelah itu, apa?

 

Bila kita berhitung untuk Beijing, akan ada pemasukan besar dari para peserta olimpiade yang datang dari berbagai negara, baik untuk bertanding, berjalan2, dan tentunya, membeli oleh2. Tiket masuk ke area pertandingan, bisa dijadikan tambahan. Kesuksesan sebagai tuan rumah akan meningkatkan jumlah investor yang masuk, terlebih dengan iming2 SDM murah yang melimpah di negeri ini, adalah dampak positif lainnya. Apalagi sejak 2001 lalu, persiapan olimpiade ini telah membuka lapangan kerja baru sebanyak 600 ribu orang/tahunnya[1], sehingga tingkat pengangguran per 2007 (estm.) adalah 4% dari total penduduk sebanyak 1,33 miliar (estm. Juli 2008)[2]. Jadi, mungkin pengeluaran sebanyak US$ 2.0 miliar dalam olimpiade ini masih bisa tergantikan, dan dampaknya sedikit banyak dapat dirasakan oleh rakyat Cina.

 

Bagaimana dengan pesta pernikahan? Ada beberapa orang tua yang menganggap pesta ini sebagai investasi, karena hadiah pernikahan yang ‘tidak berupa kado atau pun karangan bunga’ diharapkan akan menumpuk pula, sehingga bisa ‘balik modal’ atau malahan dapet ‘untung’.

 

Rekan2 yang dipestakan secara mewah ini pun kebanyakan tidak dapat mengelak, karena paksaan orang tuanya. Selain alasan ‘investasi’, ada pula karena ‘hutang budi’ (karena teman orang tua sebelumnya mengundang dalam hajatan anaknya, maka ini kesempatan untuk membalas budi yang bersangkutan). Dan yang tak kalah banyaknya, adalah alasan ‘kekuasaan/jabatan’ (terpaksa mengadakan hajatan di hotel berbintang karena banyaknya tamu yang harus diundang, terkait dengan jabatan yang disandang).

 

Apapun alasannya, beradu kemewahan dalam pernikahan mungkin tak mengapa, bila di lingkungan sekitar kita mempunyai hidup yang sama, bisa makan enak setiap harinya, dan tidak ada lagi kaum dhuafa yang setiap hari harus berpikir: besok bisa makan/nggak, ya? Bisa juga pesta ini dilakukan di tengah masyarakat yang makmur sentosa, di mana seluruh fakir miskin dan anak terlantar dipelihara dengan baik oleh negara, sehingga tak ada lagi anak jalanan, atau pun para gelandangan dan peminta-minta.

 

Sayangnya, negara kita tidak seperti itu adanya. Masih banyak orang yang sibuk mengais makanannya di tempat sampah. Ada balita yang berjuang seharian di lampu merah untuk sekedar sebungkus nasi yang dimakannya. Ribuan anak putus/tak dapat melanjutkan sekolah karena melonjaknya biaya. Pengangguran masih 9,6% dari total penduduk sekitar 237 juta jiwa (estm. 2007)[3]. Entah berapa jumlah anak panti asuhan yang hingga saat ini terpaksa makan seadanya, karena tiada memadainya jumlah sumbangan yang diterima.

 

Perayaan pernikahan adalah berbagi syukur atas kebahagiaan yang didapatkan. Bila memang berbagai alasan ‘keterpaksaan’ di atas harus mengemuka, mungkin saudara2 yang tak seberuntung sang empunya hajat ada baiknya diikutsertakan. Karena berbagi kepada yang lebih membutuhkan tidak akan mengurangi kebahagiaan, bahkan justru membuatnya berlipat ganda. Rasa terima kasih yang tulus dari lubuk hati mereka, akan jauh lebih bermakna dibandingkan para kalangan ‘tingkat tinggi’, yang sudah terbiasa mendapatkan makanan sejenis di kesehariannya. Karena negara kita belumlah makmur sentosa dan mampu menjalankan kewajibannya, untuk menanggung seluruh fakir miskin dan anak terlantar di segenap penjuru negeri.

***

“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta. [Q.S. Az-Zariyat: 19]”

*****

(Dari sini)

Nishi Chiba, 12 Agustus 2008 (00.36 JST)

*Lima hari menjelang dirgahayu negeri tercinta… semoga Allah SWT selalu melindungi dan merahmati negeri ini, Amiiin*