Tuesday, February 05, 2008

Pemeriksaan Kesehatan oleh Kampus di Jepang

Tanggal 10 Desember 2007 lalu aku menjalani pemeriksaan kesehatan (PK) yang difasilitasi oleh kampus. Tidak ada yang istimewa sebenarnya, karena pemeriksaan kesehatan di kampusku ini, sebagaimana di kampus2 lainnya di Jepang, merupakan hal rutin.

Bila di kampus Saitama dulu, pemeriksaan ini hanya dilakukan setahun sekali, maka di kampusku kini, GRIPS, diadakan 2 kali setahun. Bulan April untuk mahasiswa Jepang, dan Oktober untuk program internasional, alias non-Jepang. Semuanya tanpa biaya, alias gratis, karena (belakangan ini baru kuketahui) ternyata merupakan fasilitas yang disediakan oleh pihak Asuransi Kesehatan, yang preminya kami bayarkan setiap 9 bulan dalam setahun kepada shiyakusho (= municipal/city office atau kantor kota ‘kali ya?). Karena pemerintah di sini sudah terdesentralisasi, maka besarnya premi ini juga berbeda-beda, tergantung pemerintah kota yang bersangkutan.

Kembali ke topik, yang berbeda kali ini dari PK sebelumnya adalah: aku tidak menjalaninya di kampus! Ini dikarenakan pada saat PK di kampus berlangsung, aku sedang berada di tanah air. Maka hari itu, aku ditemani seorang staf kampus, sebut saja Yuki, menjalaninya di Health Insurance Clinic-Ichigaya.

Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit dari kampus, dan sesampai di sana, masih ada sekitar 8 orang yang sedang mengantri. Begitu tiba, Yuki langsung menyerahkan surat pengantar dari kampus, dan aku mendapatkan kunci loker dan beberapa lembar formulir. Setelah meletakkan semua barang2ku di loker, aku pun segera mengisi formulir, dibantu oleh Yuki, karena semuanya dalam bahasa Jepang.

Setelah itu, aku mengembalikan formulir, berikut sampel urine, faeses, dan sejarah kesehatan yang formulir, petunjuk, dan kemasannya telah disebarkan oleh pihak kampus kepada kami semua, sebulan sebelum PK di kampus dilaksanakan. Setelah mengklarifikasikan beberapa data pribadi, seperti nama dan tanggal lahir, serta cara pengucapan namaku, kami pun kembali duduk, menunggu dipanggil.

Tak lama kemudian, aku dipanggil, dan langsung diarahkan ke ruangan X-ray. Ruangan ini mempunyai 2 pintu yang berbeda, untuk pria dan wanita, baik untuk masuk ke ruang ganti, maupun dari ruang ganti ke tempat alat X-ray berada. Bila pria yang di X-Ray, maka pintu yang bersambung ke ruang ganti wanita akan dikunci oleh si radiolog, demikian pula sebaliknya. Di sini sudah disediakan atasan disposable yang berbahan seperti tas kertas pembungkus tas kulit, berikut keranjang untuk menyimpan pakaian kita. Ganti pakaian, X-ray, kembali ganti pakaian, dan selesailah sudah.

Dari sini aku ke tempat pengukuran berat dan tinggi badan, dilanjutkan dengan tensi darah. Aneh juga, kali ini tensiku rendah sekali; pertama 85/50, kemudian diulang menjadi 98/51! Padahal saat itu aku sedang sehat2nya *halah*, maksudku tidak pusing ataupun lemes sama sekali! Memang biasanya tensiku rendah sih, tapi biasanya berkisar 80/60 atau 90/70 di Indonesia, sedangkan di Jepang antara 100/80 dan 120/90. Kenapa berbeda? Ceritanya ada di sini.

Setelah itu cek mata. Biasanya baik2 saja, entah kenapa kali ini si Mbak pemeriksa neranginnya agak panjang dan cepat. Ketika kuminta mengulangi lagi pelan2, eh dia malah menyuruhku langsung ke tempat pengambilan darah. Dan diambillah darahku sebanyak 300 ml, yang ditempatkan dalam 3 tabung kecil. Setelah diberikan plester di bekas tusukan jarum tadi, aku menunggu sebentar, kemudian dipanggil kembali, disuruh masuk ke sebuah ruangan, dengan 2 petugas wanita, tempat tidur, dan sebuah alat kecil di meja, dekat tempat tidur itu.

“Sore wa nani kikai desu ka? (=Itu alat apa?)” tanyaku sambil menunjuk ke alat kecil itu, berhubung alat itu belum pernah kulihat sebelumnya dalam PK2 di kampus. “Kore wa…nan dake…jaa…oshiete kudasai (=Itu…wah apa, ya…tolong kasih tahu, deh…),” kata petugas yang senior kepada yang wanita lebih muda. Aku yang sudah serius menunggu jawaban wanita tadi jadi puyeng bin geli mendengar akhir kalimatnya, lalu beralih menatap ke wanita muda di sampingnya.

Setelah terdiam sebentar, dia menjawab dengan hati2,”Anooo, this is EKG, nee…etooo…(=Hmmm…ini EKG, emm…).” “Ah, EKG desu ne, haik, wakarimashita… (=Oh, EKG ya, tahu, kok...),” sahutku cepat, kesian juga melihat si Mbak ini bingung untuk menjelaskan dalam bahasa yang kupahami. Welahdalah Mbakyu, kalo ECG (entah kenapa di Jepang jadi EKG) mah, saya nggih ngartos, kok…cuman ‘kan belum pernah liat aja penampakannya seperti apa, hehehe). Baru ngeh kenapa sebelumnya aku belum pernah menjalani tes ini, karena ECG memang hanya diperuntukkan bagi yang berusia 35 tahun ke atas.

Dan yang mengejutkan aku pula, ternyata tes ini cepet banget! Tidak sampai 5 menit, semuanya selesai, dan aku diarahkan ke ruangan dokter. Dokternya wanita, senior banget. Beliau hanya menanyakan ada gangguan yang dialami belakangan ini/tidak, ngecek dengan stetoskop di tubuh bagian depan dan punggung (kalau di Indonesia kan cuman depan saja, ya), tenggorokan, selesai.

Setelah itu langsung menuju resepsionis kembali, dan rangkaian PK-ku hari ini dinyatakan selesai! Sempat kulihat jam dinding di belakang resepsionis ini, ternyata seluruh PK tadi hanya memakan waktu 30 menit! Padahal itu sudah termasuk waktu mengantri, lho!

Setelah itu kami langsung kembali ke kampus, dan di jalan Yuki menjelaskan perkataan Mbak pemeriksa mata tadi. Katanya ada selisih minus antara kacamata dengan ukuran mereka, sekitar 0,10. Sistem di Jepang untuk perhitungan selisih ukuran ini memang agak beda, tidak seperti Indonesia yang memakai bilangan 0.25 dan kelipatannya, mereka menggunakan 0.10 dan kelipatannya (tolong dikoreksi kalau salah, ya…), dengan nilai antara -1,50 sampai dengan +1,50 (setidaknya itu yang kutangkap dari penjelasan Yuki). Kacamataku tadi selisihnya masih dalam batas normal, jadi nggak masalah, kata Yuki lagi. Hasil PK-nya? Ini yang agak lama…baru sekitar pertengahan Januari kuterima dari kampus.

Setelah PK ini jadi membanding2kan dengan negeri sendiri. Di Indonesia, yang mendapatkan fasilitas PK gratis ini hanya PNS setingkat eselon II ke atas (kalau nggak salah), padahal pembayar Askes ini adalah seluruh PNS, dari tingkat terendah hingga yang tertinggi. Selain itu, pengurusannya pun ribet, tak sebanding dengan ganti rugi yang diperoleh. Kapan ya, fasilitas PK gratis ini bisa didapatkan oleh seluruh peserta Askes dengan mudah?

***

(Petunjuk pengambilan sampel dari kampus)

Nishi Chiba, 5 Februari 2008 (23.53 JST)

*Di sela2 nguber setoran…*