Monday, July 14, 2008

Around 40 (Japanese Drama)

Rating:★★★★
Category:Other
Drama di TBS ini sebenernya sudah tamat sejak 3 minggu yang lalu, tapi baru sempat nulis ulasannya sekarang, telat banget, ya:).

Sesuai judulnya, drama ini berkisah tentang 3 orang wanita yang berusia mendekati 40 tahun (versi Engrish, alias Japanese English-nya ‘arafo’, atawa ‘araun footies’): Satoko (39), Mizue (40), dan Nao (35), serta seorang pria: Ohashi Sadao alias Ma-kun, yang bersahabat sejak SMP. Satoko (Amami Yuki) adalah seorang psikiater sukses yang masih lajang dan memiliki keluarga bahagia: ayah, ibu tiri (Haruko), dan adik cowok (Tetsuya) beserta istri dan anaknya.

Mizue adalah seorang ibu RT, bersuamikan karyawan di perusahaan asuransi, dan memiliki seorang anak cowok yang duduk di bangku SMP. Ma-kun memiliki restoran warisan dari ayahnya, tempat mereka berempat selalu berkumpul, sedangkan Nao adalah wanita lajang yang bekerja sebagai desainer di sebuah majalah.

Tidak seperti Nao, yang sejak awal sudah menyatakan tidak akan menikah, Satoko tetap tidak berputus asa untuk mendapatkan pasangan hidup idealnya, yaitu seseorang yang menyenangkan ketika meluangkan waktu bersama dengannya, dan mau menerimanya beserta dunianya: kesibukannya sebagai psikiater yang menyita waktu. Ia juga berkeras menolak ‘omiai’ (perjodohan ala Jepang), karena berkeyakinan bahwa pasangan hidupnya pasti akan dipertemukan dengannya secara natural.

Di luar dugaan, Nao justru mendadak menikah dengan orang yang tidak dicintainya, tepat setelah promosi yang diharapkannya di tempat kerja ternyata diberikan kepada wanita lain yang 3 tahun lebih muda darinya. Pria ini adalah Shinjo Takefumi, desainer gaya hidup yang menaruh hati pada Nao saat majalah Nao melakukan wawancara dengannya.

Mizue, yang merupakan perwakilan dari ibu RT tipikal Jepang, selalu merasa iri dengan Satoko dan Nao, karena mereka mandiri secara ekonomi. Padahal Satoko dan Nao juga menginginkan kehidupan berkeluarga seperti yang dimiliki oleh Mizue. Sebagai tambahan konflik, Ma-kun dan Nao ternyata saling mencintai, walaupun mereka tidak pernah mengatakannya secara langsung.

Tokoh utama di sini adalah Satoko, yang pikirannya terkadang bercabang di antara 2 pilihan: karir atau keluarga, hingga ia bertemu dengan Okamura (33 th.), seorang psikolog baru di klinik Satoko.

Hal yang menarik dari drama ini adalah:
1. Hubungan persahabatan antara Satoko, Nao, Mizue, dan Ma-kun, yang membuat mereka dapat saling membantu dan meringankan beban satu sama lain.
2. Hubungan antara Satoko dan Okamura dengan para pasiennya, yang menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dan ketenangan pikiran bagi seseorang dalam menjalani hidupnya, serta dalam menghadapi berbagai masalah.
3. Prinsip Satoko dan Nao yang saling bertentangan dalam memperjuangkan kebahagiaan hidupnya. Nao selalu mengutamakan untuk terlihat bahagia di depan orang lain, sedangkan Satoko berprinsip bahwa: ‘apa yang akan membuatku bahagia, aku sendiri yang menentukan.’
4. OST drama ini (Shiawase no Monosashi, oleh: Takeuchi Mariya), terutama bait terakhirnya: “… Count what you have now, don’t count what you don’t have, find that you have so much.”
5. Seperti yang sering dikatakan Ma-kun, rumput tetangga tampak selalu lebih hijau. Demikian pula salah satu pesan dari drama ini, di mana Mizue sering terlihat tak puas dengan kondisi dirinya, dan iri dengan kondisi sahabatnya (Satoko dan Nao), juga sebaliknya.
6. Hubungan Okamura-Satoko, yang beberapa kali menunjukkan kelucuan sikap Satoko saat salah tingkah menghadapi Okamura, yang notabene berusia lebih muda dan memiliki pendapatan yang jauh lebih rendah darinya.
7. Drama ini sangat membumi, dan benar-benar mewakili kondisi wanita Jepang saat ini. Satoko mewakili wanita mandiri yang tidak ingin didikte lingkungan dalam menentukan kebahagiaan hidupnya, Mizue adalah ibu RT yang ingin bekerja karena selalu merasa tidak aman dan tidak dihargai keluarganya, sedangkan Nao adalah wanita yang rela mengorbankan perasaannya agar terlihat bahagia di depan orang lain, serta lancar dalam karirnya.


Selain itu, seperti halnya mayoritas drama Jepang, drama ini pun sarat pesan moral, mulai dari hubungan antarkeluarga, hubungan orangtua dan anak, bahkan hubungan antara manusia dengan lingkungan, yang sering didengungkan oleh Okamura.

Meskipun demikian, hubungan antara Nao dan Ma-kun ini bikin aku kesel juga, sih… wong udah jelas sama-sama seneng, kenapa nggak saling terbuka gitu, lho! Jadi keinget sama si Kenzo di “Propose Daisakusen”, yang walaupun udah dikasih kesempatan berulang kali, tetep aja nggak bisa mengungkapkan perasaannya ke wanita yang dicintainya sejak mereka berdua di bangku SMA! Sebegitu susahnyakah untuk mengungkapkan perasaan? ‘Kan masih ada media lain, jika nggak bisa bicara langsung secara lisan? Lho, kok malah ngedumel, punten terbawa suasana, hehehe…:D.

Beberapa kutipan yang menarik di drama ini:
• Satoko: What will make me happy, I’ll decide myself.
• Mizue: Having a good marriage means having to make an effort.
• Nao: After all, a pinch can change into an opportunity.
• Okamura: There is a deep gulf between men and women, the most important thing is communication.
• Ma-kun: It’s what’s inside that count. Before getting married, you have to accept the entirety of your partner.
• Haruko: Which ever road one chooses, a person could end up regretting their regrets.

BTW, jadi keinget sama pertanyaan Ma-kun yang tak terjawab sampai drama ini usai: Life style designer itu pekerjaannya apa, sih?
***

(Foto dari sini )

Nishi Chiba, 15 Juli 2008 (03.14 JST)

- Katakanlah apa yang ada di dalam pikiranmu, jika tidak, bagaimana orang lain dapat memahamimu? (Okamura) -