Tuesday, November 20, 2007

Berat untuk Kembali

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, beberapa hari lagi aku harus pergi ke negeri samurai, ‘tuk selesaikan tugas yang masih menanti. Berat rasanya untuk kembali, mengingat kondisi Ummi kini yang tak seperti sebelumnya. Yah, koma selama hampir 3 minggu yang dideritanya awal tahun ini, membuat Ummi hanya dapat terbaring di tempat tidur hingga kini. Berbicara hanya sepatah dua patah kata, itu pun dengan segenap tenaga, karena bernafas pun harus dibantu dengan tabung oksigen.

Itulah sebabnya, Ummi lebih sering berkomunikasi dengan bahasa isyarat: komat-kamit tanpa suara sambil mengernyitkan muka/alisnya, dan terkadang dibantu oleh gerakan tangannya yang menunjuk ke arah tertentu. Namun satu hal yang sangat kami syukuri, Ummi masih dapat mengingat dengan baik: keluarganya, sahabat-sahabatnya, bahkan sahabat-sahabat adikku yang dulu seringkali berkunjung ke rumah.

Memang Ummi tak lagi menyambutku di pintu ketika aku pulang malam, sambil bertanya dengan nada cemas,”Sudah makan, belum? Kok, malem pulangnya?” Namun ketika memasuki kamar saat Ummi terjaga, ia selalu tersenyum, menjawab salamku tanpa suara, dan terkadang menggerakkan bibirnya sambil mengernyitkan wajah, membentuk kata,”Sudah makan?” Bila kujawab ‘sudah’, kernyitan di wajahnya akan hilang, terlihat tenang, dan bahkan terkadang bertanya lagi tanpa suara,”Makan apa?”

Walaupun demikian, tetap saja suasana di rumah kini tak sama lagi. Kini Ummi tak lagi makan sambil tertawa bersama kami, menikmati acara komedi di TV ketika sahur. Ajakannya untuk bermain kartu remi di sore hari sambil ngabuburit, belum terdengar lagi. Ummi sekeluarga memang sangat mahir bermain kartu, bahkan ayah dan adiknya sering memenangkan pertandingan bridge. Itulah sebabnya, kami bertiga sudah terbiasa main kartu sejak sebelum masuk TK. Bahkan permainan kartu inilah yang membantu kami untuk memahami hitungan lebih cepat dibandingkan teman-teman sekelas. Saat di SD teman-teman baru bermain cangkulan, kami sudah terbiasa bermain 41, yang bila jumlah pemainnya kurang dari 4, dimodifikasi oleh Ummi menjadi 51, 60, bahkan 68, hehehe! Sejak kelas 3 SD, aku sudah terbiasa bermain remi di rumah, tidak hanya bersama Ummi dan kakak adikku, tapi juga para asisten pribadi Ummi;P.

Mainan kartu favorit Ummi adalah “Sendirian” alias Soliter. Yap, permainan ini sudah kukenal sejak SD, jauh sebelum masuk ke paket “permainan wajib” di setiap komputer! Biasanya jika Ummi sedang senggang, dan tak ada acara menarik di TV, langsung saja permainan ini digelar, dan aku ikut-ikutan membantu membuang kartu As dan teman-temannya dengan sok sibuk:D.

Kenangan manis lainnya tentang Ummi dan kartu, adalah saat bermain remi di Jepang bareng Ummi dan Faishal. Ummi selalu tertawa geli saat aku menyanyi “Bebekku”, terutama pada bagian:”…Berrrebut, berrrebut, sungguh ramainya…. Kwek kwek kwek, kwek kwek kwek, gembira ria….” Saking senangnya, sekembalinya Ummi dari Jepang, kakakku bilang bahwa Ummi selalu tertawa geli setiap menceritakan nyanyianku itu, sampai-sampai aku dijuluki Ummi “Si Raja Bebek” sejak itu:P. Itulah sebabnya, saat aku kembali tahun lalu, Ummi selalu memintaku menyanyikan lagu ini, terutama saat kita sedang bermain remi bareng.

Tak hanya di saat Ramadhan, silaturahmi Idul Fithri ke keluarga tahun ini pun terasa kurang ramai, karena Ummi tak ikut menemani. Aku pun semakin merindukan saat-saat Ummi menceritakan nostalgia kehidupan keluarganya, sejak kecil, maupun kisah-kisah awal pernikahannya dengan Abi. Kangen pula diriku pada suara Ummi yang selalu mengingatkan untuk tetap sarapan, pada saat aku tergopoh-gopoh berangkat karena bangun kesiangan. Atau keributan yang biasa terjadi saat Ummi ingin menonton film India kesayangannya di TV, namun bentrok dengan pertandingan bola favorit kakak dan adikku.

Masih terbayang pula raut wajah Ummi yang cemas, setiap aku kembali ke Jakarta dengan kondisi agak kurusan (biasanya memang menjelang pulang ke tanah air ada berbagai setoran yang harus dibereskan, sehingga timbanganku sering turun sekitar 2-3 kg saja), dengan pertanyaan yang amat susah untuk kujawab,”Mau dimasakin apa?” Hehehe, gimana nggak susah, wong masakan Ummi ini semuanya enak, kok! Apalagi saat datang dari negeri masakan tanpa rasa begini, wah! Apapun yang dimasak Ummi, pasti segera kuhabiskan dengan lahap:D.

Yah, situasi memang kini agak berbeda. Karena terkena serangan stroke kelima sebelum koma, maka Ummi memerlukan masa pemulihan yang agak lama. Namun Alhamdulillah, perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit ada kemajuan pada Ummi. Akhir bulan lalu, Ummi sudah dapat mengangkat punggungnya sedikit. Bahkan saat aku baru saja tiba dari Bandung, Ummi mengajakku berbicara dengan suara, hingga beberapa kalimat!

Satu hal yang sangat kami kagumi (termasuk para dokternya), adalah semangat hidup Ummi yang sangat tinggi. Walau dalam keadaan seperti ini, Ummi sering kali tersenyum, tidak pernah terlihat sedih. Ummi juga selalu patuh saat difisioterapi oleh perawat di rumah.

Aku benar-benar harus banyak belajar tentang ketegaran hidup dan kesabaran dari Ummi. Hal ini juga yang membuatku yakin, bahwa Ummi pasti mengerti, aku harus pergi karena ada kewajiban menanti. Mohon doa restu, Ummi, semoga kita segera berkumpul kembali tahun depan, setelah semua tugas tertunaikan.

***

Bekasi, 17 November 2007 (10.37 WIB)

* Teriring doa, agar Ummi senantiasa diberikan yang terbaik, diberkahi, dan dilindungi Allah SWT *