Malam 8 Agustus 2008, tepat pk. 08.08 waktu setempat, atau 09.08 JST, kami menyaksikan pembukaan Olimpiade bareng di rumah seorang teman. Malam itu juga, kembali Cina membuka mata dunia, bahwa masih ada negara besar di dunia ini selain sang adidaya, yang mendominasi dunia sejak Uni Soviet tenggelam dengan ‘glasnost’ dan ‘perestroika-nya’.
Tidak hanya ribuan personil yang mewarnai pentas kolosal ini, pesta extravaganza tersebut juga menunjukkan kecanggihan teknologi dan ketinggian budaya, yang dengan megahnya diwakili dengan parade bela diri, kostum, dan budaya tradisonal lainnya, serta sejarah penemuan benda penting di dunia oleh negara ini: kertas.
Pertanyaan yang pertama kali menyeruak di benakku adalah: berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk unjuk kemewahan malam itu? Stadion sarang burung bisa dikategorikan sebagai investasi jangka panjang, tapi bagaimana dengan kembang api, kostum personil, serta berbagai teknologi tingkat tinggi yang digelar hanya untuk malam itu?
Pertanyaan yang sama juga selalu muncul di saat menghadiri pesta pernikahan yang mewah di ibukota. Orang tua puas, pengantin bahagia, makanan nikmat dan berlimpah, para rekanan senang karena masuk daftar undangan. Namun setelah itu, apa?
Bila kita berhitung untuk
Bagaimana dengan pesta pernikahan? Ada beberapa orang tua yang menganggap pesta ini sebagai investasi, karena hadiah pernikahan yang ‘tidak berupa kado atau pun karangan bunga’ diharapkan akan menumpuk pula, sehingga bisa ‘balik modal’ atau malahan dapet ‘untung’.
Rekan2 yang dipestakan secara mewah ini pun kebanyakan tidak dapat mengelak, karena paksaan orang tuanya. Selain alasan ‘investasi’, ada pula karena ‘hutang budi’ (karena teman orang tua sebelumnya mengundang dalam hajatan anaknya, maka ini kesempatan untuk membalas budi yang bersangkutan). Dan yang tak kalah banyaknya, adalah alasan ‘kekuasaan/jabatan’ (terpaksa mengadakan hajatan di hotel berbintang karena banyaknya tamu yang harus diundang, terkait dengan jabatan yang disandang).
Apapun alasannya, beradu kemewahan dalam pernikahan mungkin tak mengapa, bila di lingkungan sekitar kita mempunyai hidup yang sama, bisa makan enak setiap harinya, dan tidak ada lagi kaum dhuafa yang setiap hari harus berpikir: besok bisa makan/nggak, ya? Bisa juga pesta ini dilakukan di tengah masyarakat yang makmur sentosa, di mana seluruh fakir miskin dan anak terlantar dipelihara dengan baik oleh negara, sehingga tak ada lagi anak jalanan, atau pun para gelandangan dan peminta-minta.
Sayangnya, negara kita tidak seperti itu adanya. Masih banyak orang yang sibuk mengais makanannya di tempat sampah.
Perayaan pernikahan adalah berbagi syukur atas kebahagiaan yang didapatkan. Bila memang berbagai alasan ‘keterpaksaan’ di atas harus mengemuka, mungkin saudara2 yang tak seberuntung sang empunya hajat ada baiknya diikutsertakan. Karena berbagi kepada yang lebih membutuhkan tidak akan mengurangi kebahagiaan, bahkan justru membuatnya berlipat ganda. Rasa terima kasih yang tulus dari lubuk hati mereka, akan jauh lebih bermakna dibandingkan para kalangan ‘tingkat tinggi’, yang sudah terbiasa mendapatkan makanan sejenis di kesehariannya. Karena negara kita belumlah makmur sentosa dan mampu menjalankan kewajibannya, untuk menanggung seluruh fakir miskin dan anak terlantar di segenap penjuru negeri.
***
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta. [Q.S. Az-Zariyat: 19]”
*****
(Dari sini)
Nishi Chiba, 12 Agustus 2008 (00.36 JST)
*