Pagi ini, saat melalui jalan di sekitar Cawang, aku melihat 2 orang wanita setengah baya yang sedang duduk berdua di rerumputan jalur hijau. Wanita pertama memakai kebaya dan kain batik yang sudah lusuh, berusia sekitar 50 tahunan. Wanita kedua memakai kaos lengan pendek dan rok yang menutupi lututnya, dengan warna yang juga sudah pudar. Beliau ini sepertinya berusia lebih muda dari wanita pertama tadi.
Wajah mereka yang mirip membuatku berkesimpulan bahwa mereka ini bersaudara. Sambil duduk di rerumputan, mereka bercakap2 dan mengubek2 tas kresek hitam yang dibawa oleh wanita pertama. Pemandangan yang sering kita lihat di Jakarta, pastinya.
Namun yang membuatku tertarik pada mereka adalah satu makhluk mungil yang kemudian duduk manis di antara mereka berdua. Anak kucing yang berwarna belang hitam putih ini tampak sibuk membersihkan badannya, sementara kedua wanita tadi masih sibuk mengubek2 si kresek, entah apa pula yang dicarinya. Kucing di sekitar jalanan, juga bukan hal yang aneh, 'kan?
Yang menarik dari kucing ini adalah: dia mengenakan seuntai kalung di lehernya! Kalung yang menandakan bahwa pemiliknya adalah kedua wanita tadi, karena dia selalu bermanja2 pada keduanya secara bergantian. Kalung yang juga menunjukkan, bahwa walaupun kedua wanita tersebut sepertinya hidup kurang berkecukupan, namun mereka masih rela berbagi dengan si mungil ini, tidak hanya makanan, tetapi juga masih peduli untuk membeli hiasan baginya pula!
Kenapa aku begitu meributkan kalung tersebut? Karena kalung ini terbuat dari logam berwarna keemasan (pastinya bukan emas murni), namun tentu lebih mahal dari sekedar kalung plastik mainan biasa. Subhanallah...aku sendiri memang menyukai hewan sejak kecil, dan memelihara mereka memang memberikan kesenangan dan keasyikan tersendiri bagiku. Namun hingga detik ini, tidak pernah terpikirkan olehku untuk membelikan mereka aksesoris, kecuali untuk si Bonny, anjing tersayang yang kupelihara sejak kelas 2 SD sampai dengan 1 SMA. Yang terpenting bagiku adalah memelihara dan merawat mereka: tercukupi makanannya, terjaga kebersihan dan kesehatannya, serta yang paling kusukai: ngobrol dengan mereka.
Namun, kembali pada kedua wanita tuna wisma tadi... bila aku mempunyai keterbatasan rejeki untuk diri sendiri atau pun keluargaku, masihkah aku dapat berbagi seperti mereka: membelikan makanan dan aksesoris bagi hewan kesayangan?
Dan bila mereka yang masih dalam kekurangan, masih bisa berbagi pada makhluk Allah lainnya, mengapa kita2 yang mendapatkan rejeki lebih baik, masih banyak yang enggan berbagi dengan yang membutuhkan?
***
(Dari sini)
Bekasi, 29 Oktober 2007 (23.02 WIB)