Dua hari lagi negeri ini bertambah usia, 62 tahun jadinya. Salah satu tradisi menyambut perayaan kemerdekaan ini, termasuk di kota kecilku dulu, Mojokerto, adalah diadakannya berbagai lomba tradisional tujuhbelasan, seperti panjat pinang, lomba makan kerupuk, lomba mengambil uang logam dari tempurung kelapa yang diolesi oli, dsb.. Puncak kegiatan di kota ini adalah karnaval sepeda hias dan gerak jalan (GJ) 17 km, 8 km, dan 25 km (yang terakhir ini biasa disebut GJ Mojosari-Mojokerto/MM), serta panggung seni di setiap RW. Mengapa bukan 45 km? Karena masih ada GJ Mojokerto-Surabaya yang berjarak sekitar 50 km, dan dilakukan setiap peringatan Hari Pahlawan.
Berhubung baru bisa naik sepeda saat di Saitama, jadinya aku dulu hanya mengikuti GJ, 8 km saat kelas 5 dan 6 SD, serta MM ketika di kelas 3 SMA. Namun demikian, karena teman2 sepermainanku selalu aktif dalam karnaval sepeda hias, maka dulu kami selalu berkumpul di rumahnya, dan bekerja sama menghias sepeda2 yang akan ditampilkan.
Hal yang terasa berkesan bagiku saat itu, adalah kegiatan ini telah melepaskan kami dari batas2 kelas, sekolah, bahkan usia. Saat itu ada 6 orang peserta karnaval ini, dari 4 SD yang berbeda pula, dan tidak ada seorang pun yang satu sekolah denganku. Tetapi saat mereka berparade, aku selalu bilang pada ibuku,”Itu sepeda kita!”, sambil menunjuk ke sepeda2 hasil karya kami bersama dengan bangga. Tak lupa memanggil nama temanku sambil heboh ber-dadah ria. Norak banget, ya?
Demikian pula halnya saat aku yang berada dalam pasukan GJ, para temanku yang tidak ikut serta akan dengan setia menunggu sampai pasukan kami semuanya lewat, dan memanggil2 serta meneriakkan kata2 semangat dengan hebohnya. Lain halnya dengan GJ MM. Jauhnya jarak yang kami tempuh ternyata telah mempertemukan kami dengan orang-orang tulus di sepanjang perjalanan.
Saat itu kami ber-17, ditambah 3 orang cadangan yang mengiringi dengan sepeda. Salah satu tugas mereka adalah menyediakan minuman bagi kami semua. Yah, jarak 25 km yang ditempuh 5 jam non-stop (pasukan kami bergerak pk. 16.00 WIB) dalam udara panas memang sangat cepat membuat dehidrasi. Berhubung saat itu cuaca lebih panas dari biasanya, ditambah dengan banyaknya peserta pemula yang tidak pernah berlatih sebelumnya (termasuk aku), jadinya persediaan air kami habis dalam sekejap. Akhirnya, para pengiring ini pun memberanikan diri untuk meminta air kepada penduduk di sekitar jalan sunyi yang saat itu kami lewati.
Agak lama kemudian mereka datang dengan gembira, melambai2kan botol minum yang terisi penuh dan… beberapa buah singkong rebus! Walhasil, barisan pun bubar sesaat, menggerombol di tengah jalan, tetap berjalan sambil heboh berbagi singkong rebus yang masih hangat2 itu… duh, nikmat banget, deh! Ketika beberapa meter kemudian kami kembali melewati para penonton, barisan sudah kembali rapi dengan semangat berkobar… berkat sang singkong rebus.
Iseng kami kambuh ketika melewati kuburan yang sepi, dan hanya ada tukang sate sedang berjualan di depannya. Ketika berjarak sekitar 5 meter dari si penjual sate, salah seorang dari kami berteriak,”Pak, satene sate mayit, yo?[1]” disambut dengan tawa kami berbarengan. Yang lainnya menimpali,”Dodol sate kok nang kuburan, engko dituku Sundel Bolong lho, Pak![2]” Tawa kami pun semakin keras, berbarengan dengan adzan Maghrib yang terdengar di kejauhan. Tak dinyana, tiba2 si bapak berteriak2 sambil mengacung2kan clurit! Kami pun langsung kabur serentak sambil tetap tertawa2 geli. Ah, bener2 kocak, deh! Setelah si Bapak tidak terlihat, barulah kami berjalan normal, dan berhasil sampai di garis akhir, alun-alun Mojokerto (yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahku) tepat pk. 21.00.
***
Begitulah adanya perayaan kemerdekaan setiap tahun di negeri ini. Untuk beberapa hari itu, seluruh masyarakat terlibat dalam keriaan dan kebersamaan. Hilang sementara kelelahan dalam menapaki hidup karena penghasilan yang pas-pasan. Lupa sejenak akan cita2 untuk bersekolah karena SPP yang mencekik leher. Tertawa bersama untuk sekejap, tak memikirkan pekerjaan yang belum juga diperoleh, meskipun ijasah sarjana sudah lama digenggam.
Di kantor2, para pegawai pun larut dalam suasana upacara serta pekan olah raga dan seni. Perhatian dialihkan, dari penanganan korupsi yang tak kunjung berkurang dan korban bencana yang silih berganti, menjadi strategi untuk memenangkan berbagai pertandingan olah raga, serta menampilkan atraksi terbaik di panggung seni.
Acara di berbagai media elektronik kembali mengelu2kan para pelaku sejarah kemerdekaan, yang selanjutnya akan kembali terlupakan begitu bulan keramat ini berakhir. Taman Makam Pahlawan menjadi ramai pengunjung, sementara selama ini tak ada yang peduli dengan para keluarga pahlawan tersebut.
Berbagai tontonan epik disajikan, untuk membangkitkan nasionalisme seluruh bangsa dalam merebut kemerdekaan. Sayangnya, nasionalisme yang bangkit saat ini tak digunakan sebagai spirit untuk mengisi kemerdekaan, karena ini semua hanya semangat sesaat… berkobar di bulan keramat, untuk kemudian raib secepat gelegar kebangsaan itu menguap.
Semoga kali ini dan selanjutnya semangat persatuan dan kebersamaan itu tetap bertahan, karena tanpa tindakan, negeri ini tidak akan mengalami perubahan. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi bangsa dan negeri tercinta ini, melimpahkan keberkahan dan kemerdekaan yang sebenarnya, lahir dan bathin, Amiiin.
Dirgahayu Indonesiaku… Semoga lukamu segera terobati…
***
“If our country is worth dying for in time of war let us resolve that it is truly worth living for in time of peace.” ~
***
(Dari sini)
Nishi Chiba, 15 Agustus 2007 (4.07 AM)