Tanggal 1-8-'19, saya memaparkan tentang upaya peningkatan kesiapsiagaan bencana gempa dan tsunami di Indonesia, dalam suatu sesi konferensi internasional terkait lingkungan, di Indonesia. Kita semua pasti tahu, bahwa bangsa Indonesia ini duduk di atas cincin api yang sangat aktif sejak tsunami Aceh 2004. Mirisnya, hingga kini pemahaman masyarakat RI tentang bencana masih sangat rendah. Kalau pun ada sosialisasi dan pelatihan kesiapsiagaan bencana, biasanya dilakukan di kantor atau sekolah saja. Akibatnya, perempuan dan lansia yang tidak berada di kantor/ sekolah, tidak tersentuh sosialisasi tersebut. Padahal studi tentang mortalitas tsunami Aceh (Doocy, et al, 2009) menunjukkan bahwa perempuan dan lansia lebih rentan terhadap bencana.
Salah satu penyebab dari rendahnya pemahaman ini, adalah persepsi masyarakat RI yang cenderung meremehkan kesiapsiagaan prabencana, dan fokus pada penanganan saat dan pascabencana saja. Padahal bencana alam itu tak dapat dicegah, tapi dapat dikurangi risikonya dengan pemahaman dan kesiapan masyarakat, jauh sebelum bencana itu terjadi.
Buktinya? Jepang yang terkena gempa, tsunami, plus kebocoran reaktor nuklir pada tahun 2011, jumlah korbannya jauh lebih sedikit daripada korban tsunami Aceh.
Masyarakat Jepang memang sudah terbiasa hidup dengan bencana sejak dahulu kala, karena sekitar 20% bencana di dunia terjadi di negeri Sakura ini. Pendidikan bencana di sekolah sudah diberikan dari sejak anak berusia 3 tahun, hingga 18 tahun. Saya yang pertama kali kuliah di Jepang dengan pengetahuan nol tentang bencana, juga mendapatkannya. Dari mana? Dari kunjungan petugas dan sukarelawan pemerintah daerah ke tempat tinggal para penduduk asing, yang diketahui dari kartu identitas kami. Petugas ini memberikan brosur dan informasi dalam Bahasa Inggris, menjelaskan rute evakuasi, dan memberikan saran-saran untuk keselamatan di tempat tinggal saya. Contohnya: menunjukkan benda-benda yang aman sebagai tempat berlindung, cara penyimpanan dan pengamanan lemari supaya tidak runtuh menimpa kita saat gempa, dsb.
Tak hanya itu, di bandara, kampus, dan kantor pemda pun kami mendapatkan brosur-brosur ini. Di kampus, kami juga mendapatkan latihan rutin (minimal setahun sekali) untuk kebakaran (fire drill), yang tidak pernah saya alami di 4 kantor saya, selama 24 tahun bekerja.
Hal yang lebih miris lagi adalah ketika saya mengingatkan kepada lingkungan sekitar saya untuk kesiapsiagaan ini, mayoritas tanggapannya: "Sudahlah, berdoa saja, jangan nakut-nakutin terus. Kayak yang nggak punya Tuhan saja." Saya pun menjawab: "Agama saya mengajarkan untuk ikhtiar maksimal dan berdoa, lalu tawakkal. Bukannya duduk manis menunggu nasib, lalu berdoa pasca kejadian sambil pasrah menangis."
Allah SWT menitipkan alam seisinya dan jiwa raga kepada kita sebagai amanah. Mari kita jaga semaksimal mungkin, sebagai wujud pertanggungjawaban amanah tersebut kepada-Nya. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita semua dan NKRI tercinta, karena kesiapsiagaan bencana adalah tanggung jawab kita semua, bukan pemerintah semata@fa.
~3-8-'19~